Wednesday 19 September 2012

Sang Pencerah: Mencerahkan yang Dicerahkan.


Hari itu hari Rabu. Saya terbaring di atas kasur di lantai 2 rumah saya, sedikit mengeluh dalam hati karena influenza menyerang hidung saya sehingga menyebabkan tissue di rumah saya mendadak habis. Tenggorokan terasa gatal, dan panas pun datang menyerang di pagi harinya, sehingga saya mengurungkan niat untuk pergi ke kempus dengan kondisi yang enggak banget untuk menuntut ilmu.


Di atas kasur saya hanya melamun, sembari mendengar Robert Plant menyanyikan The Rain Song yang terdengar dari speaker di bawah tempat tidur. Waktu menunjukan pukul 10.00 WIB dan saya masih dalam keadaan seperti ini, berusaha agar cairan dalam hidung saya tidak jatuh keluar dengan wujud yang menjijikan.

Kasur saya cukup sederhana. Sebenarnya saya tidur bukan di atas kasur secara langsung, melainkan di atas kursi yang dapat berubah fungsi menjadi kasur bila dibutuhkan. Namun di tangan saya, kursi tersebut berubah wujud menjadi kasur entah sampai kapan, dan saya gunakan untuk tidur. Lambat laun saya meninggalkan kamar saya yang terletak di lantai bawah dan sekarang kamar saya ditempati adik-adik saya untuk tidur. 

Saya lebih senang tidur di atas kursi. Entah mengapa. Dan hobi saya yang terbaru ialah tidur siang di atas lantai di kosan teman saya, dengan bantal di kepala dan pintu kosan yang terbuka lebar, membiarkan semilir angin masuk dan membelai kulit saya hingga terlelap. Mungkin hal itu juga yang membuat saya berpikir mungkin hobi terbaru saya itu merupakan salah satu faktor mengapa saya terbaring karena influenza ini.

Banyak buku bertebaran di sudut-sudut kasur saya, salah satunya ialah sebuah novel yang saya saya pinjam dari teman saya sekitar setahun yang lalu, tapi baru kali ini saya membacanya. Niat awal meminjam  buku itu ialah untuk mengisi waktu luang saat kuliah, namun hal yang terjadi malah sebaliknya dan buku yang saya pinjam pun terlupakan hingga hari dimana saya terbaring karena flu, buku itu tergeletak seolah-olah menunggu tangan saya menyambarnya.


Tanpa pikir panjang saya membaca buku itu. Sang Pencerah, karya Akmal Nasery Basral, yang menceritakan tentang perjalanan hidup salah seorang panutan saya : Kiai Haji Ahmad Dahlan. Kisah ini pernah difilmkan sebelumnya, dengan judul yang sama, disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Namun saya tidak sempat menonton filmnya dan lebih memilih untuk membaca bukunya.


Saya sudah tidak asing dengan sosok yang sering saya pandangi di kelas sekolah saya dahulu. Entah berapa kali saya memandangi foto beliau yang tergantung di setiap kelas. 6 tahun hidup di alam pesantren Muhammadiyah membuat saya sedikit demi sedikit mengenal tokoh yang menjadi pembaharu di jamannya. Walaupun hanya mengenal sosok beliau lewat berbagai buku sejarah, namun seakan-akan semangat saya tersulut oleh sepak terjang beliau dahulu.

3 jam kemudian saya terhanyut dalam buku tersebut. Tak peduli suhu di ruangan yang meningkat karena waktu menunjukan pukul 13.00. Tak peduli hening rumah saya yang sedang ditinggal oleh para penghuninya. Tak peduli cairan hidung saya yang menyumbat saluran pernafasan saya. Saya benar-benar terlarut oleh buku itu. 

K.H. Ahmad Dahlan, terlahir dengan nama Muhammad Darwis. Beliau menghabiskan masa kecilnya dengan belajar agam islam kepada ayahnya, Kiai Abu Bakar, yang juga merupakan khatib masjid Gedhe Kauman. Dan seperti anak kecil pada umumnya, beliau pun sering bermain gobak sodor maupun sepak bola bersama teman-temannya. Pemikiran kritis beliau pertama kali muncul ketika menghadiri acara yasinan wafatnya ayah sahabatnya. Beliau heran melihat ibu sahabatnya, yang berhutang untuk menyelenggarakan acara tersebut. Beliau berpikir, mengapa keluarga yang ditinggalkan harus menyelenggarakan acara yasinan dengan biaya yang terbilang mahal sampai harus berhutang besar? Apakah memang ada tuntunannya berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah? Kalaupun ada mengapa sampai memberatkan yang menanggungnya? Begitulah pertanyaan-pertanyaan Dahlan kecil yang berseliweran dalam benaknya. Hal itu pula yang membuatnya termotivasi untuk mendalami agama Islam secara lebih detil. 

Banyak hal dilakukan oleh beliau yang bertentangan dengan budaya dan tradisi masyarakat sekitar sehingga membuat orang-orang sekitar Kauman mencapnya sebagai orang sesat. Beliau mengubah arah kiblat masjid Gedhe Kauman, yang menurutnya kurang miring beberapa derajat. Beliau pula yang mengomentari adat-isitiadat yang bercampur dengan agama sehingga menghasilkan sesuatu yang berbau musyrik, seperti sesajen yang disediakan untuk meminta sesuatu kepada Allah melalui kuburan orang yang telah meninggal maupun tempat-tempat yang dianggap keramat.  Pemikirannya yang kritis membuat beliau dijauhi oleh para kiayi dan ulama-ulama di sekitarnya, namun berhasil membangkitkan minat dan semangat para kaum muda yang berpikir kritis dan menyukai caranya. 

Salah satu percakapan yang saya sukai ialah sebagai berikut.

'Dari ujung mataku, kulihat kebingungan di wajah para remaja itu.



"Kenapa main musik londo, Kiai?" tanya Jazuli.

"Memangnya kenapa?" Aku balik bertanya. Mereka tampak semakin bingung.

"Bukannya alat musik itu bikinan orang kafir?" sanggah Daniel.

"Orangnya yang kafir, alat musiknya tidak ada yang muslim atau yang kafir," jawabku sambil kembali menggesek biola perlahan-lahan.'

Terlihat jelas disini pemikiran beliau yang sangat kritis, dan tentunya mengundang kontroversi. Seringkali kita mencap sesuatu itu haram, terutama kepada benda-benda atau material yang memberi pengaruh dalam kehidupan sosial manusia, seperti halnya biola maupun alat-alat musik yang lain. Benda mati merupakan benda yang tak bernyawa dan tak berakal, lain halnya dengan manusia yang mempunyai akal. Maka seringkali kita sebagai manusia selalu menyalahkan hal-hal yang tidak seharusnya disalahkan, seperti kepada benda mati itu. Hal itu terjadi karena stigma negatif yang telah menodai sesuatu tersebut hingga akhirnya menjadi sesuatu yang tabu bahkan diharamkan, contohnya seperti musik. Banyak orang yang melarang untuk bermain musik, bahkan mengharamkan bermain musik. Lantas apakah selamanya musik akan menjadi haram? Tentu tidak. Stigma negatif yang melekat dalam musik, bahwa musik itu selalu dikaitkan denga Sex, drugs, dan Alcohol, membuat banyak orang berpikiran demikian dan mencap bahwa musik itu sesuatu yang membahayakan, bahkan mengharamkan hal tersebut.  

Kalau kata Doel Soembang, '...kalau bulan bisa ngomong...' saya sering berandai-andai hal seperti itu dapat terjadi. Mungkin musik yang disukai hampir oleh seluruh manusia yang berada di berbagai penjuru dunia akan menangis tersedu-sedu dan akan berteriak-teriak, mungkin gitar yang sering dimainkan oleh banyak orang akan mengutuki bahkan mungkin memburu siapa saja yang membuatnya menjadi terlihat negatif, sama seperti bila hal tersebut terjadi kepada manusia.

Maka, kita sebagai manusia haruslah dapat berpikir secara kritis, menimbang baik-buruknya suatu perkara, apakah melanggar kaidah-kadiah agama atau tidak, yang jelas segalanya kembali lagi kepada kita, apakah kita akan begini? Apakah kita akan begitu? K.H. Ahmad Dahlan memberi kita inspirasi dan motivasi untuk selalu berpikir kritis dan tidak keluar dari norma-norma dan syariat islam.



No comments: